Rabu, 27 April 2011

Sebutir Klepon Sialan

By Mahrus Husain


Bagiku menjadi santri adalah sebuah keniscayaan yang tidak perlu dipikirkan lagi. Aku lahir di lingkungan pesantren dan ayah ibuku juga. Orang-orang di desaku adalah santri semuanya. Saking santrinya, sarung dan kopyah adalah pakaian wajib mereka walaupun sedang ngopi di warung, berada di pasar, atau menengok sawah. Ketika bulan puasa tiba, tidak terlihat satu warung pun yang berjualan makanan. Bila ada, mereka buka secara sembunyi-sembunyi karena malu. Jadi bagiku hidup nyantri sudah aku lakoni sejak lahir dan tidak pernah berkutat dengan pencarian. Karena begitu menginjak usia remaja aku pun dipesantrenkan oleh ayahku. Tapi aku baru beberapa tahun yang lalu hafal tahlil. Itu karena didaulat oleh warga untuk memimpinnya di tempat tinggalku sekarang.
Lain halnya dengan pak Sus, pensiunan pegawai sebuah BUMN yang istiqamah mengikuti segala kegiatan keagamaan bersamaku. Dalam usianya yang sudah berkepala tujuh beliau masih aktif mengikuti semua kegiatan keagamaan di kampung. Katanya dulu waktu mudanya belum banyak mengamalkan agama. Hari tuanya digunakan untuk belajar dan mengamalkan semua kegiatan keagamaan.
Termasuk salah satu diantaranya ialah tahlilan secara bergilir dari rumah ke rumah setiap minggunya, beliau tidak ketinggalan. Pak Sus tidak pernah mempermasalahkan apakah tahlilan itu bid’ah atau bukan. Apalagi menggugat dalilnya. Orang-orang semacam pak Sus ini tergantung siapa yang mengajak; bila yang mengajak orang aswaja, maka beribadahlah ia sebagaimana orang aswaja melakukannya. Jika yang mendakwahinya orang salafi, maka keyakinannya sebagaimana keyakinan orang salafi. Saya yakin jika seandainya saya suruh dia makmum sama seorang ustadzah, dia akan ho-oh saja. Tapi dalam hal hafal tahlilan, kira-kira lebih duluan dia daripada aku.
* * *
Syahdan malam itu giliran acara tahlil keliling di rumahku. Istriku mempersiapkan makanan ringan yang dihidangkan di malam tahlilan. Beberapa panganan disuguhkan. Memang dalam acara ini disepakati agar semua tuan rumah yang mendapatkan giliran tidak menyuguhkan nasi, walaupun dengan lauk yang sangat sederhana, seperti sambal terong misalnya.
Dan tiba waktunya istirahat, pak Bambang pembawa acara bersuara di mikrofon, “Acara sementara di-skors.” Akupun mempersilahkan para tamu tahil untuk menikmati hidangan ala kadarnya.
Siapa sangka ditengah acara istirahat, sebuah insiden terjadi. Pak Sus -yang giginya tinggal beberapa- tersedak. Tenggorokannya tak bisa menelan klepon. Heboh, perhatian hadirin tertuju pada Pak Sus yang mendelik-mendelik berjuang melepaskan ganjalan di tenggorokannya. Kira-kira sampai seperempat jam adegan ini terpaksa diperankan oleh Pak Sus. Baru kemudian pak Yono berinisiatif untuk memukul tengkuknya berkali-kali sampai klepon itu melesat dari mulut. Dan ‘wussss’, kleponnya mencelat. Sialnya lagi, benda itu jatuh di sarung mas Yudho yang duduk di seberang sana. Kontan Mas Yudho memegangi ujung sarung dan lari keluar rumah untuk mengenyahkan klepon yang sudah bau naga.
Istriku yang berada di ruang dapur cemas bukan kepalang karena merasa bertanggung jawab atas hidangannya.
Ooooalah klepoon, klepoon!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

slowww Down sHobb